Entah dari mana
tiba-tiba kutipan di atas teringat kembali saat pagi tadi memperhatikan (lagi) kelakuan
para pengemudi kendaraan roda dua. Aksi ketidaksabaran jelas terlihat dari gaya
mereka mengemudikan motornya : memepet kendaraan roda dua dan roda empat di
depan, samping kiri, dan samping kanannya; membunyikan klakson berkali-kali ;
menyerobot jalan kendaraan lainnya, tidak memberi kesempatan pejalan kaki menyeberang,
melawan arus dan berzig-zag melewati sela-sela sempit antar mobil-mobil di kanan-kiri
serta depan dan belakangnya; bahkan di Zona Sekolah yang sudah jelas rambu dan
marka jalannya untuk berhati-hati dan memberi kesempatan anak-anak sekolah menyeberang
jalan, mereka tetap tidak peduli, memacu kendaraannya bahkan mengumpat dan
membunyikan klakson saat mobil di depannya memperlambat jalan di zona “zebra-cross”
tersebut.
Tidak ada lagi kah pengendara-pengendara beradab di negeri
ini? Mengapa semakin hari sikap apatis, egois dan mau menang sendiri semakin
terbiasa. Jabodetabek sudah menjadi belantara ketidakpatuhan budaya. Seorang
ahli Psikologi Sosial pernah meneliti bahwa ada perasaan ketidakadilan sosial
yang melatarbelakangi terjadinya tindakan-tindakan para pengendara motor
tersebut. Mereka merasa sebagai korban atas ketidakadilan yang mereka rasakan,
baik yang terjadi di rumah, jalan, kantor, bahkan atas kebijakan Pemerintah.
Rasa ketidakadilan inilah yang melegitimasi bahwa orang lain harus mengalah dan
maklum atas tindakan mereka. Luar biasa! Suatu penyakit kejiwaan yang menular
dengan cepat antar sesama pengendara roda dua yang merasa senasib
sepenangungan. Akibatnya? Ya, akibatnya
adalah fatal! Kecelakaan dan kematian. Bahkan ada seoarang supir truk yang
saking gusarnya atas prilaku pengendara sepeda motor, memberikan “pelajaran”
dengan menabrakan truknya ke beberapa pengendara sepeda motor yang berlawanan
arah dan menyerobot jalan si supir truk tersebut. Saat diinterogasi Polisi sang
supir dengan nada tinggi mengatakan agar mereka kapok untuk tidak mengambil
jalan pengendara lainnya. Jadi, intinya pengedara truk inipun merasa mengalami
ketidakadilan, seperti lingkaran setan.
Rasa tidak puas biasanya akan melahirkan rasa
ketidakbahagiaan yang berujung pada merasa telah diperlakukan tidak adil, baik
oleh masyarakat di sekilingnya, pemerintah atau bahkan oleh Tuhannya. Mas Arfan
Pradiansyah pernah menasihati saya melalui bukunya “Seven Laws of Happiness dan
You are not Alone”: “Jika kita tidak puas dengan yang kita miliki sekarang,
maka kita tidak akan pernah puas dengan apa yang akan kita miliki.” Jika ingin
bahagia, bahagialah sekarang!.
Jadi, bisakah kita hanya menjadi warga yang beradab, tidak
kurang tidak lebih? Bagaimana menurut anda?
Kuningan, 13 Maret 2014 – Sutopo Yuwono