Senin, Mei 16, 2016

MELEPAS FANA

MELEPAS FANA

KETIKA DERITAN KERETA MALAM MENGGANGGU HENING
KETIKA HIJAU SAJADAH MASIH MELINTAS DI  KENING
KETIKA DUNIA MASIH MEMASOK BERIBU PENING
MASIH SAJA AROMA TUBUHMU MELINTAS SERING

KETIKA GERBONG KEHIDUPAN SALING MENCUMBU
ASAPMU MELINTAS MAKIN MERAYU
KETIKA JELAGA MULAI MENEBAL DI WAJAH LUSUH
DIRI LUNGLAI DALAM JASAD PENUH PELUH

KETIKA STASIUN TUJUAN MASIH JAUH
NAFSU MULAI BANYAK MENGELUH
KETIKA BERHENTI DI SETIAP STASIUNMU
DERU MESIN DAN LENGKINGAN LOKOMOTIF MEMBAWA SUBUH BERLALU
AKU MENGENGGAM DUNIA DALAM, PENUH DAN JENUH
NAMUN, MAMPUKAH AKU MELEPAS FANA DENGAN SUNGGUH?

Sancaka  Surabaya-Solo, 28 April 2016
Sutopo Yuwono

Rabu, Maret 12, 2014

Melalui Mimpi....


Entah dari mana tiba-tiba kutipan di atas teringat kembali saat pagi tadi memperhatikan (lagi) kelakuan para pengemudi kendaraan roda dua. Aksi ketidaksabaran jelas terlihat dari gaya mereka mengemudikan motornya : memepet kendaraan roda dua dan roda empat di depan, samping kiri, dan samping kanannya; membunyikan klakson berkali-kali ; menyerobot jalan kendaraan lainnya, tidak memberi kesempatan pejalan kaki menyeberang, melawan arus dan berzig-zag melewati sela-sela sempit antar mobil-mobil di kanan-kiri serta depan dan belakangnya; bahkan di Zona Sekolah yang sudah jelas rambu dan marka jalannya untuk berhati-hati dan memberi kesempatan anak-anak sekolah menyeberang jalan, mereka tetap tidak peduli, memacu kendaraannya bahkan mengumpat dan membunyikan klakson saat mobil di depannya memperlambat jalan di zona “zebra-cross” tersebut.

Tidak ada lagi kah pengendara-pengendara beradab di negeri ini? Mengapa semakin hari sikap apatis, egois dan mau menang sendiri semakin terbiasa. Jabodetabek sudah menjadi belantara ketidakpatuhan budaya. Seorang ahli Psikologi Sosial pernah meneliti bahwa ada perasaan ketidakadilan sosial yang melatarbelakangi terjadinya tindakan-tindakan para pengendara motor tersebut. Mereka merasa sebagai korban atas ketidakadilan yang mereka rasakan, baik yang terjadi di rumah, jalan, kantor, bahkan atas kebijakan Pemerintah. Rasa ketidakadilan inilah yang melegitimasi bahwa orang lain harus mengalah dan maklum atas tindakan mereka. Luar biasa! Suatu penyakit kejiwaan yang menular dengan cepat antar sesama pengendara roda dua yang merasa senasib sepenangungan. Akibatnya?  Ya, akibatnya adalah fatal! Kecelakaan dan kematian. Bahkan ada seoarang supir truk yang saking gusarnya atas prilaku pengendara sepeda motor, memberikan “pelajaran” dengan menabrakan truknya ke beberapa pengendara sepeda motor yang berlawanan arah dan menyerobot jalan si supir truk tersebut. Saat diinterogasi Polisi sang supir dengan nada tinggi mengatakan agar mereka kapok untuk tidak mengambil jalan pengendara lainnya. Jadi, intinya pengedara truk inipun merasa mengalami ketidakadilan, seperti lingkaran setan.

Rasa tidak puas biasanya akan melahirkan rasa ketidakbahagiaan yang berujung pada merasa telah diperlakukan tidak adil, baik oleh masyarakat di sekilingnya, pemerintah atau bahkan oleh Tuhannya. Mas Arfan Pradiansyah pernah menasihati saya melalui bukunya “Seven Laws of Happiness dan You are not Alone”: “Jika kita tidak puas dengan yang kita miliki sekarang, maka kita tidak akan pernah puas dengan apa yang akan kita miliki.” Jika ingin bahagia, bahagialah sekarang!.

Jadi, bisakah kita hanya menjadi warga yang beradab, tidak kurang tidak lebih? Bagaimana menurut anda?


Kuningan, 13 Maret 2014 – Sutopo Yuwono

Rabu, Maret 02, 2011

Oathed (1)

Wajah merasa marambat jagad raga
Hembusan angin pagi membelai dua kesadaran yang terjaga
Azan tadi meramaikan telinga yang sejatinya meninabobokan aku dan dia
Beranjak menggapai ruh yang masih terpisah

Dulu, getaran itu mendekap seluruh
membasuh seluruh tubuh,ruh dan nafs di Alam Malakut-Mu
saat bersaksi di altar Rabb patuh penuh
membawa misi hidup dengan menutup pintu ragu

Kini, baju dunia begitu memancarkan asa mempesona
gemerlap perangkap yang tiada habisnya
membelah keyakinan titian cita "qoolu bala syahidna"
Ya, Rabb aku dimana?


Terbitkan Entri